عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلّٰهِ حَاجَةٌ فِيْ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ (رواه البخاري)
Dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw. bersabda, “Siapa saja yang tidak bisa meninggalkan perkataan kotor dan (tak bisa meninggalkan) perbuatan kotor maka Allah tidak punya kepentingan apa-apa bahwa orang itu meninggalkan makan dan minum.” (HR Bukhari)
Pada konteks puasa lahiriah, melakukan perbuatan tersebut, puasanya tetap dianggap sah.
Tetapi dalam konteks nafsânî, orang yang berpuasa itu tidak mendapatkan hikmah apa-apa. Hal ini juga diingatkan oleh sahabat Umar:
كَمْ مِنْ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلَّا الْجُوْعُ
“Banyak sekali orang puasa namun tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali lapar.”
Selanjutnya, pada sepuluh hari yang ketiga, sebagaimana yang sudah kita bahas, kita harus meningkatkannya pada jenjang ruhani.
Dalam ranah ini, kita sudah memasuki sesuatu yang susah sekali diterangkan, karena memang masalah ruhani tidak ada ilmunya.
Baca Juga: Resep Menu Sahur Kilat! Nasi Sarden Rice Cooker ala Chef Devina, Praktis dan Bergizi
Kita mengetahuinya hanya dari berita atau yang dalam bahasa Arab disebut dengan naba-un. Dan, pembawa berita itu adalah Nabi.