Teks Khutbah Jumat: Metafora Lailatul Qadar 'Apa yang Kamu Tunggu-tunggu Insya Allah Malam Ini Datang'

30 April 2021, 07:25 WIB
Naskah khutbah Jumat tema keajaiban malam Lailatul Qadar. Metafora malam seribu bulan: Apa yang ditunggu akan datang. /PEXELS/SHAHBAZ AKRAM

PR BOGOR - Tak terasa sebentar lagi akan memasuki sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan 1442 H.

Rasulullah SAW menganjurkan umat Islam untuk memperbanyak ibadah di bulan Ramadhan.

Pasalnya di bulan Ramadhan setiap amalan akan mendapat ganjaran pahala berlipat-lipat ganda. Anjuran ibadah ini pun lebih ditekankan ketika memasuki sepuluh hari terakhir Ramadhan.

Baca Juga: Ramalan 6 Tanda Zodiak Cinta Hari Ini, 30 April 2021: Aries Bicara Berdua, Gemini Harus Sadar, Pisces?

Sebagaimana diketahui, pada sepuluh hari terakhir Ramadhan terdapat malam Lailatul Qadar yang diyakini lebih baik dari malam seribu bulan.

Meskipun sejatinya tidak ada yang tahu pasti kapan malam Lailatul Qadar terjadi. Namun dalam salah satu hadis Rasulullah SAW diriwayatkan:

تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِفِي الْوِتْرِمِنَ الْعَشْرِالْأَوَاخِرِمِنْ رَمَضَانَ

“Carilah Lailatul Qadar itu pada malam-malam ganjil dari sepuluh hari terakhir (bulan Ramadan)." (HR. Al-Bukhari dari Aisyah radliyallahu ‘anha).

Baca Juga: Ramalan 6 Tanda Zodiak Hari Ini, Jumat 30 April 2021: Cancer Jangan Terus Cemas, Scorpio Berbanggalah, Virgo?

Dikutip bogor.pikiran-rakyat.com dari Buku 32 Khutbah Cak Nur berikut naskah Khutbah Jumat dengan tema Metafora Lailatul Qadar.

Sidang Jumat yang terhormat,

Kita akan memasuki sepuluh hari ketiga pada bulan Ramadhan ini. Mari kita mengingat sedikit renungan kita dalam khutbah yang lewat.

Kita telah membicarakan bahwa menurut para ulama, puasa Ramadhan dibagi menjadi tiga jenjang yang mengikuti pembagian per sepuluh hari.

Baca Juga: 4 Drama Korea yang Paling Banyak Ditonton April 2021, Satu di Antaranya Tentang Pengusiran Setan

Sepuluh hari yang pertama, adalah jenjang fisik (jasmani). Di mana kita masih terlibat dalam usaha menyesuaikan diri secara jasmani pada kebiasaan baru, menyangkut makan, minum, dan lain-lain.

Di sinilah shiyâm dalam arti menahan diri itu diwujudkan dalam tindakan-tindakan lahiriah yang menjadi bidang kajian fiqih, yang meliputi persoalan batal atau tidak batalnya puasa.

Sementara, jenjang yang kedua disebut sebagai jenjang nafsânî (psikologis atau kejiwaan). Kalau pada jenjang yang pertama bersifat keragaan, maka di sini shiyâm menahan diri itu sudah sampai pada sesuatu yang bersifat nafsânî, yakni menahan diri dari hawa nafsu.

Secara fiqih memang tidak membatalkan puasa, misalnya ketika kita marah-marah atau membicarakan kejelekan orang lain.

Baca Juga: Tak Hanya Presiden Jokowi, Kapolri Juga Jamin Masa Depan Anak 53 Prajurit KRI Nanggala-402 yang Gugur di Bali

Tetapi dalam puasa batinnya, perbuatan itu bisa membatalkan puasa. Di sini, kita diingatkan oleh Rasulullah Muhammad Saw. dengan sabda beliau:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلّٰهِ حَاجَةٌ فِيْ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ (رواه البخاري)

Dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw. bersabda, “Siapa saja yang tidak bisa meninggalkan perkataan kotor dan (tak bisa meninggalkan) perbuatan kotor maka Allah tidak punya kepentingan apa-apa bahwa orang itu meninggalkan makan dan minum.” (HR Bukhari)

Pada konteks puasa lahiriah, melakukan perbuatan tersebut, puasanya tetap dianggap sah.

Tetapi dalam konteks nafsânî, orang yang berpuasa itu tidak mendapatkan hikmah apa-apa. Hal ini juga diingatkan oleh sahabat Umar:

Baca Juga: LINK STREAMING Preman Pensiun 5 Hari Ini, Jumat 30 April 2021: Terminal Bakal Dikudeta, Bubun Ngamuk!

كَمْ مِنْ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلَّا الْجُوْعُ

“Banyak sekali orang puasa namun tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali lapar.”

Selanjutnya, pada sepuluh hari yang ketiga, sebagaimana yang sudah kita bahas, kita harus meningkatkannya pada jenjang ruhani.

Dalam ranah ini, kita sudah memasuki sesuatu yang susah sekali diterangkan, karena memang masalah ruhani tidak ada ilmunya.

Baca Juga: Resep Menu Sahur Kilat! Nasi Sarden Rice Cooker ala Chef Devina, Praktis dan Bergizi

Kita mengetahuinya hanya dari berita atau yang dalam bahasa Arab disebut dengan naba-un. Dan, pembawa berita itu adalah Nabi.

Dari Nabi-lah kita mengetahui apa yang bisa kita peroleh dari puasa jenjang ketiga ini, karena memang tidak bisa diterangkan.

Oleh karena itu, kemudian diungkapkan melalui simbol-simbol, metafora-metafora, termasuk masalah laylatul-qadr.

Baca Juga: Sinopsis Preman Pensiun 5 Tayang Dini Hari Jumat 30 April 2021: Bagaimana Nasib Ujang dan Serena?

Hal itu sebenarnya merupakan sebuah perlambang dari suatu capaian ruhani atau perolehan ruhani yang tidak bisa diterangkan.

Suatu saat, ketika Rasulullah Saw. bersabda kepada umatnya yang tengah berkumpul di masjid menunggu-nunggu laylatul-qadr, karena Rasulullah memang tidak pernah menerangkan apa yang dimaksud laylatul-qadr dan kapan terjadinya, maka beliau hanya mengatakan,

“Apa yang kamu tunggu-tunggu insya Allah malam ini datang, karena aku telah melihat dalam visi (ru’yah) bahwa akan ada hujan lebat kemudian aku belepotan lumpur dan basah kuyup oleh air.”

Kemudian, umat yang berkumpul itu pun membubarkan diri. Pada malam itu memang terjadi hujan lebat. Karena bangunan masjid Madinah pada zaman Nabi sangat sederhana, atapnya terbuat dari daun kurma, maka dengan sendirinya air hujan pun masuk ke lantai masjid yang terbuat dari tanah.

Baca Juga: LINK LIVE STREAMING Vidio.com Manchester United vs AS Roma di Semifinal Europa League, Hari Ini Pukul 2.00 WIB

Umat yang ada pada saat kejadian tersebut melihat apa yang dikatakan Nabi. Karena beliau sembahyang dalam kuyup. Sementara, muka dan sekujur badannya berlumur tanah liat.

Lalu apa yang dimaksud dengan laylatul-qadr itu oleh Nabi? Karena Nabi mengatakan, “Itulah yang kau tunggu-tunggu.”

Sekali lagi, karena memang persoalan ini adalah persoalan ruhani, maka tidak ada kata-kata yang cukup untuk bisa menjelaskannya.

Hal itu adalah simbol atau perlambang. Kemudian di sinilah terkandung masalah tafsir atau takwil (semiotika).

Baca Juga: Prediksi Starting Lineup Villareal vs Arsenal di Semifinal Europa League

Bahwa belepotannya Nabi dengan lumpur dan basahnya Nabi dengan air sebenarnya adalah suatu peringatan kepada kita bahwa jenjang paling tinggi dari pengalaman ruhani itu ialah kalau kita sudah kembali ke asal kita.

Dari mana kita berasal? Dari tanah dan dari air, sebagaimana Allah berfirman dalam Al-Quran:

الَّذِيْۤ أَحْسَنَ كُلَّ شَيْءٍ خَلَقَهٗ ۖ وَبَدَأَ خَلْقَ الْإِنْسَانِ مِنْ طِيْنٍ. ثُمَّ جَعَلَ نَسْلَهٗ مِنْ سُلٰلَةٍ مِّنْ مَّآء مَّهِيْنٍ

Yang memperindah segala sesuatu yang Dia ciptakan dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah, kemudian Dia menjadikan keturunannya dari sari pati air yang hina (air mani). (QS Al-Sajdah [32]: 7-8)

Baca Juga: Prediksi Starting Lineup Semifinal Europa League, Manchester United vs AS Roma

Dalam Surah Yâ Sîn juga diingatkan:

أَوَ لَمْ يَرَ الْإِنْسَانُ أَنَّا خَلَقْنٰهُ مِنْ نُّطْفَةٍ فَإِذَا هُوَ خَصِيْمٌ مُّبِيْنٌ

Dan tidakkah manusia memperhatikan bahwa Kami menciptakannya dari setetes mani, ternyata dia menjadi musuh yang nyata! (QS Yâ Sîn [36]: 77)

Maka dengan belepotannya Nabi oleh lumpur dan basah kuyupnya oleh air itu, sebenarnya merupakan simbolisme bahwa kita harus kembali menyadari siapa diri kita.

Dengan demikian, seperti menjadi makna yang tersimpul atau terkesan dari firman Allah dalam Surah Yâ Sîn di atas, kita harus menjadi manusia-manusia yang rendah hati.

Dengan sikap rendah hati, banyak sekali kebaikan yang akan diperoleh, bahkan hampir semua kebaikan itu muncul.

Baca Juga: Prediksi Starting Lineup Semifinal Europa League, Manchester United vs AS Roma

Sebaliknya musuh dari rendah hati ialah takabur (sombong), yang membuat pintu surga menjadi tertutup rapat dan tidak bisa masuk ke dalamnya.

لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِيْ قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ

“Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada seberat atom dari perasaan sombong.” (HR Muslim)

Perbuatan takabur adalah dosa pertama yang dilakukan makhluk terhadap Allah, yaitu ketika Iblis menolak mengakui keunggulan Adam.

Baca Juga: Ramalan 6 Tanda Zodiak Cinta Hari Ini, 30 April 2021: Aries Bicara Berdua, Gemini Harus Sadar, Pisces?

Jika kita menyadari diri sendiri, atau dalam bahasa yang biasa kita ucapkan sehari-hari dengan tahu diri, maka banyak sekali kebahagiaan yang diperoleh.***

Editor: Fitri Nursaniyah

Tags

Terkini

Terpopuler