"Satu-satunya 'undang-undang' yang bisa mengatur institusionalisasi Pancasila hanyalah Undang-Undang Dasar 1945, dan bukan undang-undang di bawahnya, termasuk bukan juga oleh 'omnibus law'," kata dia.
"Kalau diteruskan, ini akan melahirkan kerancuan yang fatal dalam bidang ketatanegaraan," ungkapnya.
Satu-satunya ‘undang-undang’ yang bisa mengatur institusionalisasi Pancasila hanyalah Undang-Undang Dasar 1945, dan bukan undang-undang di bawahnya, termasuk bukan juga oleh ‘omnibus law’. Kalau diteruskan, ini akan melahirkan kerancuan yg fatal dalam bidang ketatanegaraan.— Fadli Zon (@fadlizon) June 15, 2020
Alasan ketiga, Fadli Zon menyebut, RUU HIP memisahkan wacana dan norma yang bertentangan dengan pancasila yang dalam rumusan kelimanya adalah norma.
Baca Juga: Novel Baswedan Sudah Maafkan Pelaku Penyiram Air Keras, Tapi Minta Hukum Tetap Harus Berjalan
Rumusan itu juga terjaga dalam pembukaan UUD 1945. Sementara, istilah 'Trisila' dan 'Ekasila', sebagaimana yang disebut dalam Pasal 7 RUU HIP hanyalah 'wacana' yang muncul saat gagasan Pancasila pertama kali dipidatokan Bung Karno tanggal 1 Juni 1945.
Dengan begitu, RUU HIP cacat secara materil karena memasukkan wacana yang sama sekali tidak memiliki yurisprudensi ke dalam sebuah naskah RUU, yang seolah itu adalah sebuah norma.
Sementara wacana 'Trisila' dan 'Ekasila' sama sekali tidak pernah menjadi norma dalam sistem hukum dan ketatanegaraan di negeri ini.
Baca Juga: Gubernur Anies Baswedan Ungkap Sif dan Ketentuan Jadwal Kerja DKI Jakarta Selama PSBB Transisi
Bahkan, meskipun istilah Pancasila berasal dari Bung Karno, dan mengakui 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila, norma dalam sistem hukum dan ketatanegaraan Indonesia mengusung rumusan sila-sila yang disahkan pada 18 Agustus 1945, bukan rumusan sila-sila yang pertama kali dipidatokan Bung Karno.