Referendum Timor Leste 1999, 2.600 Orang Tewas, 30.000 Ngungsi, Perayaan Kemerdekaan Berumur Pendek

9 September 2020, 15:57 WIB
Pengibaran Bendera Timor Leste memperingati kemerdekaan.*/Dok. United Nations /

PR BOGOR - Timor Leste, wilayah bekas jajahan portugis ini bebas dari koloninya pada tahun 1975 bertepatan dengan adanya kudeta Portugal di Eropa sehingga memaksa para kolonial menarik diri dari jajahannya.

Selepasnya dari jajahan Portugis, Jakarta menguasai kawasan itu dengan menetapkannya sebagai provinsi ke-27 yang diresmikan Presiden Soeharto kala itu.

Dilansir Pikiranrakyat-bogor.com dari The Guardian, Jakarta menyerang Dili, tepatnya di seberang perbatasan dari Timor Barat Indonesia (di sisi lain pulau) pada bulan Oktober 1975.

Baca Juga: Kakek Arteria Dahlan Terungkap, Diungkap Hasril Chaniago Ternyata Seorang Pendiri PKI Sumatera Barat

Setidaknya lima jurnalis Australia tewas di kota Balibo. Jakarta takut akan adanya negara komunis di depan pintunya dan bahwa negara yang baru merdeka dalam lingkupnya dapat mengguncang seluruh nusantara.

Inilah yang menjadi hasrat Jakarta, meluncurkan invasi skala penuh ke Timor Leste pada bulan Desember 1975.

Diperkirakan 100.000 orang tewas dalam beberapa tahun pertama, karena perlawanan bersenjata sebagian besar telah dihancurkan.

Baca Juga: Pendiri Harian Kompas Jakob Oetama Meninggal Dunia, Berperan Penting di Masa Orde Baru

Indonesia menahan warga sipil di kamp-kamp penahanan di mana banyak yang meninggal karena kelaparan.

Pada Juli 1976 parlemen Indonesia mendeklarasikan Timor Leste sebagai provinsi ke-27 di negara itu.

Lebih kurangnya 24 tahun, warga Timor Leste bergejolak dengan invansi militer dari Indonesia. Pertanyaannya, mengapa Timor Leste tidak menyukai Indonsia?

Baca Juga: Cara Membeli Saham BTS, Sayarat Anda Tak Perlu Berkewarganegaraan Korea, Preorder Dibuka 5-6 Oktober

Adalah akulturasi budaya yang sudah membumi di kawasan itu. Pengaruh kolonial Portugal membuat penduduknya secara budaya sangat berbeda dari daerah lain di Indonesia.

Sebagian besar orang Timor Leste adalah penganut Katolik yang taat dan berbicara dalam bahasa mereka sendiri (Tetun).

Dili terus memberikan perlawanan hingga akhirnya pada tahun 1992, pemimpin perlawanan, Xanana Gusmão ditangkap dan dipenjarakan di Jakarta. Itu adalah pukulan yang luar biasa.

Baca Juga: Bos-bos BUMN Lancang Kibuli Menteri Erick Thohir, Rekruit Staf Ahli Bergaji hingga Rp100 Juta

Tahun sebelumnya, rekaman bocor pembantaian 100 pelayat di pemakaman Santa Cruz di Dili muncul, mengingatkan dunia akan kebrutalan invansi pendudukan.

Kisruh Timor Leste menjadi sorotan komunitas internasional

Pada tahun 1996 menteri de facto luar negeri negara itu, José Ramos-Horta, dianugerahi penghargaan Nobel Perdamaian bersama dengan Uskup Carlos Belo, kepala gereja Katolik di Timor.

Baca Juga: DPRD DKI Jakarta Ramai-ramai Tolak Pertanggung Jawaban APBD oleh Gubernur Anies Baswedan dan jajaran

Banyak negara, termasuk Australia, secara efektif berpaling ke arah lain, bersiap menenangkan Indonesia karena ukuran dan kekuatannya di kawasan.

Pada tahun 1978 Perdana Menteri Australia, Malcolm Fraser, adalah orang pertama yang mengakui aneksasi de facto Jakarta. Tetapi PBB mengutuknya dan menyerukan tindakan penentuan nasib sendiri.

Indonesia menyerah, krisis ekonomi jadi keberuntungan warga Timor Leste

Baca Juga: 1,6 Juta Calon Penerima Subsidi Gaji BPJS Ketenagakerjaan Tak Lolos Validasi, Akhirnya Dikembalikan

Jakarta pada tahun 1998 mengalami guncangan ekonomi dan politik sehingga mampu membawa perubahan besar secara geopolitik, sosial dan ekonomi.

Adalah krisis ekonomi di Asia memaksan pimpinan otoriter Indonesia kala itu, Presiden Soeharto mengundurkan diri setelah berkuasa 30 tahun.

Penggantinya, Baharudin Jusuf Habibie, sosok presiden yang lebih terbuka. Eyang Habibie kala itu bahkan membebaskan Xanana Gusmao di Jakarta dan menjadikannya sebagai tahanan rumah.

Baca Juga: Subsidi Gaji BPJS Ketenagakerjaan Sudah Diterima 3,69 Juta, Menaker: Mohon Bersabar Bagi yang Belum

Pada bulan Maret 1999 Habibe mengumumkan bahwa jika, dalam “proses konsultasi”, orang Timor-Leste lebih menyukai kemerdekaan daripada otonomi di bawah Indonesia, dia akan mengabulkannya.

Pada tanggal 30 Agustus 1999, PBB mengawasi pemungutan suara bersejarah, di mana 78,5 persen orang Timor Leste menolak otonomi demi kemerdekaan.

Perayaan di seluruh negeri berumur pendek. Kelompok milisi yang didukung Indonesia yang telah meneror penduduk sebelum pemungutan suara meningkatkan serangan mereka, dibantu oleh pasukan keamanan Indonesia.

Baca Juga: Alfred Riedl Meninggal Dunia, Rekam Jejaknya Bersama Timnas Indonesia Tertinggi Tahun 2010 dan 2016

Kampanye kekerasan selama tiga minggu menewaskan 2.600 orang, hampir 30.000 orang mengungsi dan sebanyak 250.000 dikirim secara paksa melalui perbatasan ke Timor Barat Indonesia setelah pemungutan suara , yang merupakan kebijakan bumi hangus.

Lantas pada tanggal 20 September 1999, pasukan penjaga perdamaian internasional pimpinan Australia, Interfet, tiba untuk memulihkan ketertiban.

Tapi kerusakan parah telah terjadi. Kota dan desa hancur dan infrastruktur penting hancur. Gusmão dan para pemimpin yang diasingkan lainnya segera kembali setelah itu dan PBB menjalankan pemerintahan tiga tahun menjelang pemilihan parlemen dan presiden. Pada Mei 2002 Xanana Gusmão dilantik sebagai presiden Timor-Leste yang baru.***

 

Editor: Amir Faisol

Tags

Terkini

Terpopuler