Indriyanto berkata, apabila KAMI melakukan kritik atau pernyataan terhadap kebijakan maupun keputusan pemerintah atau pernyataan yang tendensius dan tidak objektif, maka hal itu bisa disebut sebagai bentuk penghinaan formil.
Dia mencontohkan kritik/pernyataan yang dimaksud, antara lain tuduhan Presiden Joko Widodo (Jokowi) melanggar konstitusi dengan melanggar politik bebas aktif.
Baca Juga: Kumpulan Ucapan Selamat Tahun Baru Islam 1442 Hijriah, Bisa Dikirimkan ke Orang Terkasih
Atau narasi tentang, pemerintah melakukan pembiaran dengan masuknya militer Tiongkok dengan alasan tenaga kerja asing (TKA), dan tudingan munculnya PKI gaya baru yang dibiarkan pemerintah.
Contoh lain terkait dengan pendapat-pendapat yang membungkus seolah kebebasan berpendapat sebagai jaminan konstitusi, yang puncaknya adalah provokasi penggantian pucuk pimpinan negara dilakukan dengan cara-cara sebagai kritik atau pernyataan yang tegas dan jelas jalannya kasar, tidak objektif, tidak sopan, tidak konstruktif, dan tidak zakelijk sifatnya.
"Sehingga, ini membawa orang tersebut dalam apa yang kemudian disebut sebagai kebencian (hatred), ejekan/cemoohan (ridicule), atau penghinaan (contempt). Maka, kritik/pernyataan seperti itu menjadi bentuk penghinaan formil yang strafbaar sifatnya," ungkapnya.
Baca Juga: Habib Luthfi bin Yahya Gelorakan Cinta Tanah Air, Ormas Petanesia Impelementasi dari NKRI Harga Mati
"Jadi, haruslah dibedakan antara kritik/pernyataan dalam konteks kebebasan berpendapat dengan penghinaan formil yang melanggar hukum," tuturnya.
Selain itu, pernyataan-pernyataan seperti itu bisa mengarah kepada makar dengan ukuran objektif.