Ahli Keamanan Siber Indonesia Tegas Bilang Sebaiknya Pejabat Jangan Main TikTok, Sebahaya Apa?

- 25 Juli 2020, 18:52 WIB
ILUSTRASI TikTok.*/Pixabay/antonbe
ILUSTRASI TikTok.*/Pixabay/antonbe /


PR BOGOR - Pakar keamanan siber dari Lembaga Riset Keamanan Siber Communication & Information System Security Research Center (CISSReC) Pratama Persadha menjelaskan, kini aplikasi jejaring sosial berbagi video, TikTok tengah mengalami peningkatan penggunaan.

Tingginya penggunaan TikTok merupakan dampak dari pada adanya larangan penggunaan aplikasi jejering sosial, seperti Instagram dan Facebook asal Amerika Serikat oleh Pemerintah Tiongkok bagi warganya.

Alhasil pemakaian TikTok di TikTok menjadi sangat besar, pada akhirnya sekarang mengglobal dengan total unduhan mencapai lebih dari 1,65 miliar.

Baca Juga: Diduga Kuat Depresi, Pengaruh Obat Yodi Prabowo Lukai Tubuhnya hingga Tembus Bagian Bawah Paru-paru

Dikutip Pikiranrakyat-bogor.com dari RRI, TikTok dalam waktu dekat merilis model monetize atau kerjasama iklan sehingga usernya bisa mendapatkan pemasukan seperti di Youtube dan Facebook.

Selain itu salah satu hal yang dianggap sebagai keunggulan TikTok oleh para pemakainya adalah karena platform tersebut tidak mengenal copyright.

Alhasil pengguna bisa memakai berbagai musik dan video tanpa khawatir terkena pencabutan seperti di FB, IG dan Youtube.

Baca Juga: Hasil Swab Presiden dan Ibu Negara Negatif Corona, Jokowi: Makan Makanan Sehat, Olahraga, Itu Kunci

Namun ditengah melambung namanya, TikTok terkena larangan instal dan beroperasi di kawasan Amerika Serikat dan India, dengan alasan keamanan.

Masyarakat dunia dan pengguna Indonesia yang sedang gandrung bermain TikTok cukup resah dengan berbagai isu miring terkait aplikasi media sosial berbasis video dari Tiongkok ini.

TikTok di anggap pemerintahan Donald Trump memberikan informasi pengguna kepada pemerintah China
TikTok di anggap pemerintahan Donald Trump memberikan informasi pengguna kepada pemerintah China — ANTARA

TikTok seperti halnya Huawei ikut terseret dalam perang dagang serta ketegangan yang berkepanjangan antara permainan politik negara besar yakni Tiongkok dan Amerika Serikat.

Baca Juga: Pertanyaan Terakhir Editor Metro TV ke Suci Fitri, Yodi Prabowo: Kalau Saya Tidak Ada Bagaimana?

AS menuding kuat, TikTok menjadi alat spionase Tiongkok bagi keamanan dan perekonomian AS.

Apalagi, saat ini ada persaingan Big Data yang membuat siapapun pemilik platform populer bisa membantu mengendalikan dunia.

Misalnya data Facebook digunakan untuk memenangkan Donald Trump saat pilpres AS dan kubu Brexit di Inggris.

Baca Juga: Episode Akhir Kematian Editor Metro TV, Polisi Tetapkan Yodi Prabowo Diduga Bunuh Diri Bukan Dibunuh

TikTok menarik perhatian sudah sejak lama, bahkan Mark Zuckerberg menyatakan TikTok bisa melewati Instagram.

Nyatanya Tiktok dua tahun terakhir memang berhasil mengalahkan Instagram dengan total lebih dari 625 juta unduhan.

“Uni Eropa melakukan pengawasan ketat data TikTok kemana saja dan akan diolah seperti apa, tidak sampai melarang seperti di AS. Pertama yang selalu dicek adalah privacy policy," tuturnya.

Baca Juga: Dinyatakan Positif Covid-19 dan Dirawat di Wisma Atlet, Kedua Pasangan Ini Ngotot Jalani Ijab Kabul

"Hal dimana zoom juga tersandung karena ada perihal pengumpulan data yang tidak disampaikan di privacy policy,” jelas Pratama.

Tuduhan terhadap TikTok memang cukup serius, tidak hanya sebatas collecting data di aplikasinya, tetapi juga dicurigai ada aliran data pengguna ke Tiongkok.

Akhirnya CISSReC melakukan riset dan analisis terhadap aplikasi Tiktok ini. Kesimpulannya pada dasarnya tidak ada aliran data TikTok secara umum tidak ada yang mencurigakan.

Baca Juga: Pelancong Asal Tiongkok Tewas di Bali Gantung Diri Akhiri Hidupnya, Baru Ditemukan 2 Hari Kemudian

Contohnya alamat ip 161.117.197.194 yang menuju singapura, lalu 152.199.39.42 menuju amerika.

Bahkan saat diuji dengan malware analysis yang menggunakan sample dari 58 vendor antivirus, malware juga tidak ditemukan.

Ilustrasi aplikasi TikTok/Selular.ID
Ilustrasi aplikasi TikTok/Selular.ID

“Saat kami coba cek dengan malware analysis, tidak ada aktivitas mencurigakan saat menginstal TikTok, tidak ada malware yang bersembunyi," tuturnya.

Baca Juga: Bukan hanya Kendaraan, TNI Gadungan Dilengkapi Senjata Mainan Diringkus Polisi di Operasi Patuh Jaya

"Bila memang mengandung malware, sebenarnya bukan hanya AS yang akan melarang TikTok, tapi Google akan menghapus TikTok dari playstore mereka. Tapi hal ini juga tidak dilakukan Google,” kata dia.

Di Eropa yang dilakukan adalah pengawasan data, karena menjadi perhatian serius bagi masyarakat dunia, berbagai tuduhan bahwa TikTok digunakan spionase.

Sebenarnya hal yang sama juga bisa diarahkan ke AS, apalagi AS memiliki aturan Foreign Surveillance Act yang memungkinkan pihak aparat di AS untuk masuk dan mengambil data raksasa Teknologi.

Baca Juga: Maju di Pilwakot Solo 2020 Usai Dibeking PDIP, Gibran Rakabuming Enggan Dituding Ada Dinasti Politik

“Yang paling masuk akal dilakukan adalah, para pejabat penting dan lingkarannya jangan bermain TikTok, bila memang khawatir. Bila masyarakat mau memakai sebenarnya tidak ada masalah," kata dia.

"Namun bila memang ada kebutuhan para pejabat serta politisi untuk branding diri atau lembaga, sebaiknya menggunakan gawai yang berbeda dari gawai yang sehari-hari digunakan,” jelasnya.

Ditambahkan Pratama, TikTok seperti platform internet lainnya tetap menyimpan dan mengolah data pengguna.

Baca Juga: V BTS Beri Wejangan Sangat Bijak Bagi ARMY yang Malas Sekolah: Saat Kamu Tua, Pasti Berpikir Beda

Hal inilah yang dicurigai oleh AS dan Eropa, kekhawatiran data pengguna serta aplikasi TikTok digunakan untuk mata-mata.

Tetapi kalau dulu kita ingat ada aplikasi game pokemon, ternyata tuduhannya sebagai aplikasi mata-mata juga tidak terbukti.

Malah isu-isu besar seperti ini sebenarnya mungkin dimanfaatkan menjadi sarana promosi gratis aplikasi-aplikasi tersebut.

Baca Juga: Pilih Lembaran Baru, Lesti Kejora Fokus ke Masa Depan dan Menutup Kisahnya dengan Rizky Ridho

“Sebenarnya layanan Facebook, Google, Instagram dan semacamnya juga melakukan berbagai pengumpulan data. Misalnya dalam kasus Cambridge Analytica, data pengguna Facebook dipotimasi untuk membuat Donald Trump dan kubu Brexit di Inggris menang dalam pemilihan,” katanya dengan tegas.***

Editor: Amir Faisol

Sumber: RRI


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x