Mudik Lebaran dan Pulang Kampung Ternyata Punya Arti Mendalam Kata Sosiolog Universitas Udayana

- 18 April 2021, 07:53 WIB
Dokumentasi. Sosiolog Universitas Udayana, Bali, Wahyu Budi menjelaskan arti dan makna dari mudik lebaran dan pulang kampung di saat jelang lebaran.
Dokumentasi. Sosiolog Universitas Udayana, Bali, Wahyu Budi menjelaskan arti dan makna dari mudik lebaran dan pulang kampung di saat jelang lebaran. // Antara Foto/

 


PR BOGOR – Kebiasaan mudik saat lebaran sudah sangat melekat di kehidupan masyarakat.

Sosiolog Universitas Udayana, Bali, Wahyu Budi Nugroho menilai, mudik mempunyai nilai kekerabatan yang kuat di tengah masyarakat.

Ia juga mengungkapkan, mudik ini mulai ada pada era orde baru.

Baca Juga: Ramalan Zodiak Pisces Minggu Ini 18-24 April 2021: Mulai Asmara, Karir hingga Kesehatanmu!

Baca Juga: Naik Lagi! Update Harga Emas Hari Ini Minggu, 18 April 2021 di Pegadaian

Di mana masyarakat banyak melakukan urbanisasi.

"Mudik ini awalnya adalah imbas konsep pembangunan di era orde baru yang berupaya membangun pusat-pusat pertumbuhan sehingga terjadi urbanisasi,”

“Masyarakat desa berbondong-bondong ke kota yang menjadi pusat pembangunan.”

“Dari sinilah kebiasaan mudik muncul, yang kemudian membudaya," jelas Wahyu yang dikutip bogor.pikiran-rakyat.com dari Antara news.

Baca Juga: Resep Takjil Puasa Ramadhan, Es Susu Kurma Jelly yang Dijamin Sehat dan Menyegarkan!

Menurutnya, momen mudik adalah momen pertemuan dengan keluarga besar.

Di mana tidak semua masyarakat melakukan urbanisasi ke kota.

Sehingga mereka menganggap masih adanya tempat mereka untuk kembali, yaitu kampung halaman.

Namun, ada pula masyarakat yang memiliki pola pikir berbeda.

Yaitu masyarakat yang menetap di kota dan tidak akan melakukan mudik.

"Secara sosiologis pola pikir yang terubankan, yang mana kalau kita betul-betul sudah jadi masyarakat kota itu, tetap tinggal di kota dan tidak ada melakukan mudik," ungkap Wahyu.

Wahyu juga menjelaskan, adanya mudik karena adanya formulasi konsep ekonomi neoklasik.

Yaitu harapan terjadinya trickle down effect (efek rambatan) di pusat-pusat pertumbuhan.

Itu yang membuat terjadinya urbanisasi skala besar.

Banyak masyarakat desa yang pergi ke kota untuk mencari pekerjaan.

Kemudian, ketika hari raya tiba, mereka kembali ke desa, itu;ah yang disebut mudik.

"Jadi mudik ini adalah tradisi,”

“Secara sosiologis ini kebiasaan yang cukup mengikat, tapi tidak juga terlalu memaksa,”

“Jadi, ketika kita tidak melakukannya, mungkin akan muncul cibiran,”

“Tapi sebatas itu biasanya sanksi sosialnya,”

“Ini karena, masyarakat kita mempunyai kultur simbolik yang sangat kuat," tutur Wahyu.

Namun, di masa pandemi Covid-19 sangat berbeda.

Pemerintah melarag masyarakat untuk melakukan mudik demi mecegah penyebaran virus Covid-19.

Dan bila masyarakat mengikuti aturan pemerintah, itu akan menimbulkan nilai postif.

"Jadi, bisa dikatakan pula bahwa nilai dan norma sosial sebetulnya bersifat cair,”

“Karena bisa menyesuaikan dengan situasi dan kondisi konkret masyarakat," katanya.

Masyarakat harus menyadari, bahwa larangan mudik merupakan kepentingan bersama.

Yang mana, pemerintah tidak ingin muncul kluster baru penyebaran Covid-19.

Sehingga, jika angka penyebaran terus menurun, sekolah dan perkuliahan akan mempercepat proses pembelajaran tatap muka.

"Selama ini, sebagaimana kita tahu, banyak ditemui keluhan terkait sekolah atau kuliah daring,”

“Kebijakan ini diharapkan dapat menurunkan angka kasus Covid-19 di tanah air secara signifikan,”

“Jika tidak harapan untuk kembali menggelar sekolah atau kuliah tatap muka di semester depan akan sulit direalisasikan,” ungkapnya Wahyu.***

Editor: Rizki Laelani


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x