Sinetron 'Dari Jendela SMP' Kena Tegoran KPI, Visualisasi Tentang Pernikahan Dini Dinilai Tak Pantas

11 Juli 2020, 11:52 WIB
Sinetron Dari Jendela SMP.* /DOK. SCTV/

PR BOGOR - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menjatuhkan sanksi kepada program televisi SCTV yang menayangkan program sinteron bertajuk 'Dari Jendela SMP'.

Diberitakan di Pikiranrakyat-bekasi.com, Jumat 10 Juli 2020, KPI Pusat menjatuhkan sanksi kepada program sinetron yang mulai tayang pada 29 Juni 2020 lalu.

Surat teguran tersebut ditandatangani Ketua KPI Pusat, Agung Suprio pada Rabu, 8 Juli 2020.

Baca Juga: ABK WNI Dibekukan di Freezer Kapal Nelayan Tiongkok, Menlu Tiongkok Desak Indonesia Ambil Tindakan

Penjatuhan sanksi dilakukan lantaran siaran tersebut memuat konten visualisasi yang tidak sesuai dengan perkembangan psikologis remaja.

Menurut KPI sinetron 'Dari Jendela SMP' mengandung muatan cerita tentang hubungan asmara dua pelajar SMP yakni Joko dan Wulan yang kurang baik.

Dalam hubungan keduanya, terdapat adegan dan dialog tentang kehamilan di luar nikah, rencana pernikahan dini, dan perawatan bayi setelah melahirkan.

Baca Juga: 2 Petugas Rumah Dinas Wali Kota Bandung yang Positif Covid-19 Diisolasi, Pendopo Tetap Beroperasi

Sinetron yang diadaptasi dari novel pop karya Mira W ini juga banyak dikeluhkan masyarakat melalui saluran aduan KPI Pusat.

Artikel ini telah tayang di Pikiranrakyat-bekasi.com dengan judul 'Niat Hati Ingin Edukasi Soal Seks, Sinetron 'Dari Jendela SMP' Justru Kena Tegur KPU'.

Sebanyak lima pasal P3SPS telah dilanggar tayangan sinetron “Dari Jendela SMP” yakni Pasal 14 Ayat (1) dan (2), Pasal 21 Ayat (1) Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Pasal 15 Ayat (1), Pasal 37 Ayat (1) dan (4) huruf a, Standar Program Siaran (SPS) KPI tahun 2012.

Agung Suprio mengatakan, keputusan memberi teguran untuk sinetron ini karena isi cerita dan visualisasi yang kurang pantas untuk dikonsumsi remaja atau anak-anak.

Baca Juga: Sambut Keputusan Erdogan Fungsikan Hagia Sophia Jadi Masjid, Warga: Tuhan akan Disembah di Masjid

“Ceritanya memberikan contoh yang tidak baik terkait pacaran di sekolahan, perbicangan kehamilan di usia yang sangat muda tanpa ada klarifikasi-klarifikasi yang menegasikan tentang kehamilan tersebut yang bisa dipandang sebagai pendidikan reproduksi,” kata Agung.

Menurut Agung, novel yang diadaptasi menjadi sinetron harus memperhatikan faktor penonton dan juga kemungkinan efek negatifnya. Berbeda dengan pembaca novel yang butuh usaha yang lebih daripada tontonan TV.

Anak-anak atau remaja yang membaca novel harus memiliki minat, kemampuan membaca, dan memahami. Jika tidak berminat, mereka akan enggan membaca bahkan menyentuhnya.

Baca Juga: Aurat Jin BTS Terbuka Namun Big Hit Menutupinya dengan Sticker, ARMY: Pikiranku Sudah Terlalu liar

Adapun cerita sinetron di TV bisa dinikmati dengan hanya duduk dan menangkap gambar yang pada akhirnya tersimpan dalam ingatan bawah sadarnya.

Salah satu adegan dalam sinetron Dari Jendela SMP yang tayang di SCTV.*

Pada akhirnya kondisi tersebut bisa menjadi faktor pembentuk karakter dalam berperilaku. Pembiasaan dari apa yang ditonton bisa menjadi persepsi budaya pergaulan.

“Ketika sinteron tersebut ditayangkan secara berkelanjutan maka persepsi anak-anak akan terbentuk tentang pacaran, termasuk melakukannya di sekolah dan bahkan kehamilan serta pernikahan usia dini," ungkapnya.

Baca Juga: Aksi Pengunjung Mengecewakan, Bertemu Otoritas Suku Baduy Minta Dihapus dari Tujuan Destinasi Wisata

"Meskipun barangkali pada akhirnya ada negasi berupa pesan atau kunci pembuka atas konflik cerita di bagian-bagian akhir," kata Agung.

"Persepsi anak bisa terlanjur dipenuhi dengan hal-hal yang berkaitan dengan pacaran, kehamilan, pernikahan dini sebelum akhirnya menemukan pesan yang disampaikan oleh sinetron ini pada bagian akhir cerita,” imbuhnya.

Sebagai sinetron dengan asli atau adaptasi yang tayang di TV pada jam yang mestinya ramah anak harus memperhatikan rambu-rambu dalam P3SPS. Apalagi sinetron ini sudah dilabeli dengan klasifikasi Remaja.

Baca Juga: Hendak Ngebor Air Bersih di Kedalaman 75 Meter, Warga Sulawesi Selatan Justru Temukan Gas

“Seharusnya, program siaran dengan klasifikasi R mengandung muatan, gaya penceritaan, dan tampilan yang sesuai dengan perkembangan psikologis remaja. Ini justru bertolak belakang,” kata Agung ironi.

Agung juga mengingatkan SCTV dan lembaga penyiaran lain agar tunduk dan patuh pada P3SPS terkait kewajiban memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada anak.

Yakni melalui program siaran pada waktu yang tepat sesuai dengan penggolongan program siaran dan juga memperhatikan kepentingan anak dalam setiap aspek produksi siaran.

Baca Juga: Go International, Kesuksesan BTS dan Agensi Jadi Objek Penelitian Ilmuan Sekolah Bisnis Harvard

“Kami harap ini jadi pembelajaran dan juga masukan bagi SCTV dan lembaga penyiaran lain untuk lebih berhati-hati dalam menayangkan program apalagi ceritanya diadaptasi dari novel remaja," katanya sebagai masukan," tuturnya.

"Jangan sampai kita menampilkan muatan yang mendorong remaja belajar tentang perilaku yang tidak pantas atau membenarkan perilaku yang tidak pantas tersebut sebagai hal yang lumrah dalam kehidupan sehari-hari,” ungkap Agung Suprio.***(M Bayu Pratama/PR Bekasi)

Editor: Amir Faisol

Sumber: Pikiran Rakyat Bekasi

Tags

Terkini

Terpopuler