"Seharusnya Bulog punya peran menyerap gabah petani. Namun gabah petani tak bisa dibeli juga."
"Misalnya, dari 8 juta ton beras, yang bisa dibeli Bulog paling 30 persen," katanya.
Dedi Mulyadi mengatakan, pertama, Bulog tak memiliki kemampuan menyerap gabah petani sehingga para petani menjual hasil padinya ke tekngkulak.
Namun seringkali tengkulak tidak semuanya memiliki modal yang cukup.
"Banyak tengkulak yang baru bisa membayar setelah penjualan. Sehingga ada titik waktu banyak para petani kecil yang mengalami kekosongan keuangan karena menunggu hasil gabahnya menjadi beras dan laku di pasar," kata Dedi, Kamis, 25 Maret 2021.
Dedi melanjutkan, hal kedua yang gagal dilakukan Bulog adalah tidak maksimalnya menyerap gabah petani.
Menurut Dedi, daya serap Bulog itu rendah karena sering kali membeli beras di bawah tengkulak.
Misalnya, tengkulak membeli gabah dari petani Rp 4.200 per kilogram, sedangkan Bulog hanya Rp 3.800 per kilogram.
Hal itu karena memang Bulog memiliki kehati-hatian dalam membeli gabah.
Selain itu, ujar Dedi, Bulog juga ternyata tidak mampu menjual beras. Hal itu bisa dilihat dari masih banyaknya stok lama yang tak bisa keluar.