PEMBRITA BOGOR - Kalau dibuat kompetisi antara media sosial dan media mainstream, siapa yang jadi si paling cepat dalam menyampaikan informasi pada netizen? Mayoritas orang kiranya akan menjawab media sosial, karena di sanalah mereka berselancar.
Lantas jika demikian, apakah media mainstream akan tersingkirkan? Belum tentu juga, sebab peran jurnalisme lebih dari itu. Mestinya informasi yang disampaikan seorang jurnalis tak sebatas fenomena yang terjadi layaknya unggahan di media sosial. Jurnalis harus menekankan informasi 'kenapa' dan 'bagaimana' suatu fenomena bisa terjadi dengan melakukan verifikasi pada pihak terkait.
Persis seperti kata jurnalis senior Pikiran Rakyat Deni Yudiawan, "Pertahanan jurnalisme ada di verifikasi, tidak ada yang lain."
Diskusi Jurnalis Senior Pikiran Rakyat Deni Yudiawan: Bangun Lagi Pertahanan Jurnalisme di Tengah Gempuran Media Sosial
Sadar atau tidak, perilaku manusia berubah banyak setelah digempur pandemi Covid-19 selama nyaris tiga tahun. Trial serba online selama masa PSBB membuat manusia punya dua pilihan dalam melakukan kegiatan penting seperti sekolah, bekerja, hingga pelatihan. Jadi tim daring atau luring.
Tren healing pun naik seiring berakhirnya masa PSBB. Data Google Indonesia yang dirilis akhir 2022 menyatakan bahwa pencarian dengan kata kunci 'healing' mencapai 200 persen. Istilah ini mungkin baru jadi tren setelah masa pandemi, layaknya istilah 'new normal' yang banyak disinggung pejabat. Lalu yang dicari netizen adalah 'masa normalnya seperti apa jika ada new normal?'
Baca Juga: Patut Bangga! Menhub Sebut Kereta LRT Jabodebek 90 Persen Hasil Karya Anak Bangsa